Sabtu, 07 Juni 2014

PERANAN ETNIS CINA TERHADAP PERKEMBANGAN PEREKONOMIAN KOTA SEMARANG TAHUN 1915-1942

PERANAN ETNIS CINA TERHADAP PERKEMBANGAN
PEREKONOMIAN KOTA SEMARANG
TAHUN 1915-1942


ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) kondisi umum Kota Semarang pada masa ditetapkannyawijkenstelsel dan passenstelsel, (2) kebijakan pemerintahan kolonial Belanda terhadap etnis Cina di Kota Semarang, (3) peranan etnis Cina dalam perkembangan perekonomian Kota Semarang khususnya dalam bidang perdagangan.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode sejarah kritis seperti yang dijabarkan oleh Kuntowijoyo. Metode sejarah kritis mempunyai langkah langkah antara lain yaitu pemilihan topik, heuristik, kritik sumber, interpretasi dan historiografi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah kolonial Belanda di Kota Semarang dalam menerapkan sistem pas jalan atau passenstelsel dan pemisahan pemukiman atau wijkenstelsel sangat menyakiti hati orang-orang Cina. Peraturan tersebut membatasi ruang gerak mereka terutama dalam perekonomian. Pesatnya perekonomian di Pelabuhan Semarang membuat pemerintah kolonial Belanda memikirkan pembangunan di berbagai bidang kehidupan. Peranan etnis Cina dalam bidang perdagangan tidak dapat diragukan lagi. Etnis Cina menguasai perdagangan perantara, perdagangan keliling seperti perdagangan mindering dan kelontong, borongan dan eceran maupun perdagangan besar yang bertaraf internasional seperti ekspor dan impor.

Kata kunci: Perekonomian, Perdagangan, Etnis Cina, Semarang














PENDAHULUAN
Perkembangan kota-kota di Indonesia tidak pernah lepas dari pengaruh pendudukan Belanda di Indonesia. Sejak tahun 1900-1940 perkembangan kota-kota kolonial terus meningkat, sejalan dengan meningkatnya perkembangan ekonomi pada sektor-sektor tertentu. Seperti pada sektor pertambangan, perkebunan, perdagangan dan perindustrian. Perkembangan kota yang terjadi di tahun tersebut memiliki ciri khas yaitu menjadi basis kaum urban baru, yang terdiri dari kaum terpelajar, birokrat atau priyayi, kaum profesional, kaum pengusaha dan pedagang dari kalangan pribumi dan di luar kelas menengah yang berasal dari orang Timur Asing, yaitu orang Cina.[1]
Pada akhir abad ke-19 dan permulaan abad ke-20 sebagai akibat politik pintu terbuka yang dilaksanakan pada tahun 1870, perekonomian dan perdagangan mengalami kemajuan pesat. Hindia Belanda (khususnya Jawa) semakin terlibat dalam rumah tangga perekonomian dunia.[2]Pertumbuhan ekonomi yang pesat di Hindia Belanda selama masa liberalisme telah membawa perubahan besar terutama di Jawa. Pengusaha asing mulai menanamkan modal di Hindia Belanda. Hal ini membawa perubahan besar dalam bidang perekonomian di Hindia Belanda yang juga menjadi faktor penarik terjadinya migrasi dari Arab, India, Cina ke Hindia Belanda.
Perang Candu (1839-1842)[3] menjadi salah satu faktor terjadinya migrasi besar-besaran di Cina karena dibukanya negara Cina oleh Inggris. Selanjutnya terjadinya Pemberontakan Taypingtahun 1851-1865[4] yang mengakibatkan hancurnya perekonomian di Cina Selatan, akibatnya sebagian penduduk Cina terpaksa meninggalkan daerahnya untuk memperoleh penghidupan yang lebih baik.[5] Tekanan ekonomi yang menghantui masyarakat Cina telah memaksa mereka merantau ke Hindia Belanda dengan menggunakan jung[6] dengan bantuan hembusan angin muson.Sebagian besar orang Cina yang datang ke Hindia Belanda berasal dari provinsi Hokian.[7]Semarang menjadi tempat tujuan yang diminati imigran Cina[8] di akhir abad ke-17 setelah Batavia dan Surabaya.
Pada masa kekuasaan VOC (1678-1799), pendatang dari Cina mendominasi perdagangan.Mereka menguasai perdagangan dari pedalaman ke Kota Semarang, dan melakukan perdagangan impor dari negeri asalnya melalui Batavia.[9] Berakhirnya pemerintahan VOC dan digantikan pemerintahan Hindia Belanda, peran pedagang Cina tetap unggul dan tidak tergoyahkan.
Pada tahun 1825-1830 terjadi perlawanan Diponegoro yang mengakibatkan hancurnyakeuangan Belanda. Kerugian yang besar dalam menghadapi perlawanan dan kas Belanda yang mengalami kekacauan membuat pemerintah Belanda tidak mau terjadi perlawanan yang lebih besar lagi. Oleh sebab itu, kemudian pemerintah kolonial Belanda menutup akses hubungan berbagai etnis dengan memberlakukan suatu sistem yang sangat merugikan terutama untuk orang-orang Cina. Pemberlakuan sistem wijkenstelsel[10] dan passenstelsel[11] mengakibatkan banyak imigran baru dari negeri Cina yang datang ke Jawa awal abad ke-19 dan tinggal di desa bersama masyarakat pribumi, harus pindah ke kampung pecinan yang diperluas ke utara. Mereka harus membawa surat jalan agar bisa bepergian keluar dari pecinan. Akibatnya pecinan menjadi semakin padat dan tidak sehat lingkungannya.
Pada 1915 Pemerintah Hindia Belanda menghapuskan sistem wijkenstelsel.[12] Setelah itu banyak orang Cina mendirikan rumah dan toko di sepanjang sebelah barat Bojongsche weg(sekarang Jalan Pemuda), demikian pula di sepanjang sebelah selatan Jalan Ambengan (sekarang Jalan Mataram) dan Jalan Karangturi (sekarang Dr. Cipto) sampai dengan peterongan, serta disebelah timur Karren weg.[13] Ketika Jepang menduduki Semarang, sistem pemerintahan yang berdasarkan kelompok etnis dihapuskan. Sebagai gantinya pemerintah militer Jepang mengontrol administrasi semua kelompok etnis di dalam kota, sedang bupati mengurusi administrasi daerah di luar wilayah kota.[14] Oleh sebab itu, penelitian dalam skripsi ini dibatasi sampai tahun 1942 dengan alasan agar penelitian lebih fokus.
Studi mengenai etnis Cina di Indonesia merupakan bidang yang masih perlu dijelajahi. Etnis Cina merupakan golongan imigran asing yang banyak dijumpai di berbagai kota di Indonesia, salah satunya di Kota Semarang. Ada hal yang membuat penulis tertarik untuk meneliti etnis Cina di Semarang, yaitu dilihat dari sejarahnya yang panjang sejak kedatangan Laksamana Cheng Ho membuat kehidupan etnis Cina di Semarang menarik untuk dikaji. Kolonialisme Belanda yang membuat kebijakan mengekang kebebasan etnis Cina melalui peraturan wijkenstelsel danpassenstelsel menjadi latar belakang dalam penelitian ini. Secara khusus yang akan penulis teliti adalah peranan etnis Cina terhadap perkembangan perekonomian Kota Semarang antara tahun 1915 sampai berakhirnya masa pemerintahan kolonial Belanda.

METODE PENELITIAN
Sejarah merupakan rekonstruksi masa lalu mengenai suatu peristiwa yang sudah dipikirkan, dikatakan, dikerjakan, dirasakan, dan dialami oleh manusia.[15] Penulisan artikel ini mengikuti metode sejarah yang disampaikan oleh Kuntowijoyo. Secara singkat metode tersebut memiliki 5 tahap: (1) pemilihan topik, (2) pengumpulan sumber, (3) verifikasi, (4) interpretasi (analisis dan sintesis), dan (5) penulisan atau historiografi.[16] Penelitian ini menggunakan sumber primer berupa arsip yang penulis dapat dari Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) dan dari Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Jawa Tengah
1.    Pemilihan Topik
Berdasarkan pertimbangan yang dilakukan oleh penulis, topik yang dipilih adalah Peranan Etnis Cina Terhadap Perkembangan Perekonomian Kota Semarang Tahun 1915-1942
2.       Heuristik
Heuristik adalah suatu teknik dan seni yang dalam melakukannya membutuhkan ketrampilan.[17] Heuristik merupakan langkah awal dalam penelitian sejarah untuk menghimpun jejak-jejak masa lampau yang disebut dengan data sejarah heuristik berasal dari bahasa Yunani “heuriskein” yang berarti mencari atau menemukan jejak-jejak sejarah[18]. Heuristik diperoleh dari sumber primer dan sekunder.
a. Sumber Primer
Sumber primer yang digunakan dalam artikel ini adalah Arsip yang diambil dari Arsip Daerah Jawa Tengah dan Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI).
b.Sumber Sekunder
Sumber sekunder adalah kesaksian seorang yang bukan merupakan saksi pandangan mata yakni seseorang yang tidak hadir pada waktu terjadinya peristiwa tersebut.[19] Sumber sekunder yang digunakan dalam penulisan ini berupa buku-buku, dokumen dimana buku tersebut ditulis oleh orang yang menyaksikan peristiwa tersebut kemudian digoreskan dalam bentuk tulisan.
3.    Kritik Sumber (Verifikasi)
Kritik sumber dilakukan sebagai upaya untuk menentukan apakah sumber atau data yang didapat valid dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya baik secara substansial maupun secara fisik. Kritik sumber terdiri dari kritik intern (kredibilitas) dan kritik ekstern (otentisitas).[20] Tujuan kritik sumber adalah  untuk memberikan penelitian terhadap validitas dan reliabilitas sumber yang dilakukan dengan cara membandingkan sumber-sumber yang terkumpul.
4.    Analisis Sumber (Interpretasi)
Sejarah bukan hanya deretan fakta dan peristiwa, tetapi merupakan interpretasi yang dilakukan para penulisnya.[21] Interpretasi (penafsiran) adalah menafsirkan fakta-fakta yang telah diuji kebenarannya,atau juga digunakan untuk menafsiran fakta-fakta telah didapat yang kemudian menganalisa sumber yang pada akhirya akan menghasilkan suatu rangkaian peristiwa.Sejarawan yang jujur akan mencantumkan data dan keterangan dari mana data diperoleh.[22]Penafsiran data-data, diperoleh berdasarkan kekuatan analisis yang diperkuat melalui kajian pustaka dan segi peninjauan yang terkait dengan Revolusi Juli 1952.
5.    Historiografi (Penulisan Sejarah)      
Historiografi merupakan sebuah kegiatan menyusun fakta-fakta menjadi sejarah, setelah melakukan pencarian sumber, penilaian sumber, penafsiran kemudian dituangkan menjadi suatu kisah sejarah dalam bentuk tulisan. Tahap penyajian ini merupakan tahap akhir bagi penulis untuk menyajikan semua fakta kedalam bentuk tulisan. Sejarawan sebenarnya mempunyai tanggung jawab sosial yang besar karena tidak hanya bicara tentang isu-isu nasional, melainkan harus mempunyai wawasan jauh ke depan.[23] Penulis menggunakan sumber-sumber tertulis yang terkait dengan perdalam penyusunan artikel peranan etnis Cina terhadap perkembangan perekonomian kota Semarang  ini.

PEMBAHASAN
1.       Kondisi Umum Kota Semarang Masa Wijkenstelsel dan Passenstelsel
Secara administratif, karesidenan Semarang dibagi atas 8 wilayah (afdeeling), yaitu Semarang, Salatiga, Kendal, Demak, Grobogan, Pati, Kudus, dan Jepara. Selanjutnya dibagi lagi menjadi 15 afdeeling kontroler, 35 distrik (kecamatan) 3433 desa pemerintahan dan 227 desa partikuler. Semarang sebagai daerah kabupaten dengan batas-batas utara yang berbatasan dengan Laut Jawa, timur dengan afdeeling Demak, selatan dengan afdeeling Salatiga dan sebelah barat dengan afdeeling Kendal. Semarang sebagai kabupaten mempunyai luas 391 Km2dengan jumlah penduduk pada tahun 1915 diperkirakan 248.000 jiwa, yang terdiri dari 11.000 jiwa orang Eropa, 17.000 jiwa orang Cina, 1.500 jiwa orang Asing Timur lainnya, dan sisanya adalah pribumi.[24] Tampak jelas bahwa jumlah orang-orang Cina lebih mendominasi dibanding dengan kelompok etnis yang lain.
 “Semarang adalah Semawis, nama Jawa halus atau krama dari Semarang. Semarang atau Samarang adalah sebuah kota Karesidenan di Jawa, kabupaten dan kecamatan Samarang, 31 km dari Salatiga, 43 km dari Purwodadi, 66 km dari Surakarta, 64 km dariTimur Pekalongan, 367 km dari Timur Batavia dan 415 km dari Barat Banyuwangi. Samarang adalah kota terpadat dan berisi sembilan kabupaten, di tepi timur sungai.[25]
Orang cina di samping sebagai pedagang, sebagian memanfaatkan tanah partikelir di kota Semarang sebagai lahan pengembangan bisnisnya. Bisnis yang digeluti antara lain: bengkel, pusat pembuatan kerajinan, areal tanaman sayuran dan pendirian pabrik-pabrik. Pada batas-batas Kotapraja Semarang terdapat 40 tanah partikelir yang kebanyakan dikuasai oleh orang-orang Cina. Banyak juga tanah penduduk yang disewa oleh orang-orang Cina. Luas tanah ini berkisar dari beberapa bahu sampai ratusan bahu. Sedang tanah yang disewa oleh orang-orang Cina ini berkisar kurang lebih 300 bahu.[26]
Antara tahun 1820-1850 penduduk Cina mengalami kemunduran, ketika pemerintah menetapkan daerah khusus bagi tempat kediaman orang-orang Cina dan peraturan surat pas jalan. Menurut peraturan tersebut, orang-orang Cina diharuskan tinggal di suatu bagian kota tertentu dan orang-orang Cina yang akan bepergian keluar kota Semarang harus mendapatkan surat pas jalan. Pelanggaran-pelanggaran terhadap ketentuan ini akan diadili oleh suatu pengadilan polisi khusus yang disebut politie rol[27] yang mempunyai kekuasaan sewenang-wenang sehingga dianggap ketidakadilan bagi orang-orang Cina. Peraturan ini bukan hanya menyakiti hati orang-orang Cina saja tetapi juga sangat merintangi perdagangan mereka. Keadaan yang lebih tidak menguntungkan lagi ketika pada tahun 1870  ditetapkan Undang-Undang Agraria yang melarang orang-orang bukan pribumi untuk memiliki tanah pertanian.[28]Peraturan ini semakin menyulitkan orang-orang Cina dalam bekerja dalam bidang pertanian hasil bumi. Di tahun 1816 dikeluarkan sebuah surat keputusan yang mengharuskan setiap orang yang akan mengadakan perjalanan di Jawa mempunyai surat pas.[29] Surat keputusan ini tentu saja sangat menyakiti hati orang-orang Cina dan terutama akan menghalangi perdagangan mereka. Dalam bidang perekonomian, sejak masa berlakunya sistem liberal menunjukkan suatu perkembangan yang pesat sekali khususnya dalam bidang perkebunan. Hal ini tidak berlaku untuk etnis Cina, pemberlakuan sistem wijkenstelsel yang memisahkan permukiman Cina membuat orang-orang Cina tidak bebas bergerak. Walaupun orang-orang Cina pada waktu itu tetap berperan dalam perekonomian, tetapi ketidakleluasaan membuat peranan orang-orang Cina tidak begitu maksimal.
Peraturan pemerintah yang merugikan orang-orang Cina tidak hanya peraturan pemisahan permukiman atau wijkenstelsel (1816) dan peraturan surat pas jalan ataupassenstelsel (1835) saja. Selain kedua peraturan tersebut, ada beberapa peraturan lain seperti larangan untuk menjalankan perdagangan primer (1804), kewajiban untuk melapor (1838), pembatasan-pembatasan imigrasi (1837), larangan mencari nafkah dari hasil tanah pada tahun 1823, dan catatan sipil untuk golongan Timur Cina (1917-1930).[30] Peraturan-peraturan tersebut sengaja dilakukan oleh pemerintah untuk membatasi ruang gerak orang-orang Cina.
Pada masa wijkenstelsel dan passenstelsel setiap tindakan yang dilakukan etnis Cina selalu mendapat pengintaian dan pengawasan serta rintangan dari PemerintahOrang-orang Cina diwajibkan untuk membawa obor atau lentera ketika keluar rumah sesudah jam 19.30 sore. Siapa saja yang berani melanggarnya maka mereka akan ditangkap dan ditahan kemudian dibawa meghadap ke pengadilan politie rol. Disana nasib mereka akan ditentukan apakah dijebloskan ke penjara atau dikenakan denda.[31] Peraturan-peraturan di atas sangat merugikan orang Cina. Passenstelsel sengaja diberlakukan untuk orang-orang Cina oleh pemerintah Hindia Belanda untuk membatasi ruang gerak mereka. Bagi orang-orang Cina keperluan mereka hanyalah untuk berdagang.
Pada abad ke-19 kota Semarang berorientasi pada politik dan ekonomi. Pusat-pusat strategis kota dihuni oleh kelompok ras pertama atau penguasa yaitu orang-orang Eropa. Mereka menghuni di Zeestraat (sekarang Jalan Kebon Laut): Poncol, Pendrikan, kawasan Kota Lama. Kelompok ras kedua adalah Cina dan Timur Asing yang menempati kampung-kampung yang telah ditetapkan. Cina di kampung Pacinan, India (Koja) di Kampung Pakojan, dan Arab di kampung Kauman. Sedangkan ras mayoritas yang diposisikan di kelompok ketiga ialah rakyat pribumi. Mereka  tinggal di pinggiran kota, misalnya Kampung Lamper Lor, Lamper Tengah, Lamper Kidul, Lamper Mijen, Peterongan, Sompok, Jomblang, Karangsari dan lainnya.[32]
Peraturan-peraturan dan pembatasan-pembatasan oleh pemerintah telah menimbulkan ketidakpuasan dan pertentangan di antara penduduk Cina terhadap pemerintah serta ketentuan-ketentuan untuk menghapuskannya. Penentangan tersebut diperkuat dengan mulai berpengaruhnya paham nasionalisme Cina yang berasal dari negeri Cina pada orang-orang di perantauan. Pada akhirnya pemerintah berangsur-angsur mulai memberi konsesi, dengan dihapuskannya peraturan surat pas (izin) jalan pada tahun 1914 dan peraturan pemukiman khusus wijkenstelsel pada tahun 1915.[33]

2.       Kebijakan Pemerintah Belanda terhadap Etnis Cina di Kota Semarang
Sejalan dengan pesatnya aktivitas perekonomian terutama dari pelabuhan Semarang yang menjadi jalur perdagangan ekspor dan impor barang, maka pemerintah Hindia Belanda mulai memikirkan pembangunan sarana dan prasarana perhubungan seperti jalan raya dan jalan kereta api. Pembangunan besar dalam bidang transportasi dan perhubungan di Jawa Tengah terjadi pada tahun 1867, pada saat dimulainya pengerjaan jalan kereta api antara semarang dan daerah-daerah kerajaan di pedalaman. Pembangunan jalan kereta api ini dimaksudkan untuk memperbaiki sarana transportasi pengangkutan produk-produk pertanian dari daerah pedalaman ke pelabuhan dan membawa barang-barang impor dari pelabuhan ke pedalaman.[34]
Peningkatan aktivitas pelabuhan, perindustrian,  sarana transportasi, serta sarana dan prasarana fisik Kota Semarang, mengakibatkan terjadinya pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan kepadatan penduduk. Pada tahun 1890 kepadatan Semarang adalah 64 jiwa per km², kemudian pada tahun 1900 meningkat menjadi 214 per km, dan pada tahun 1920 kepadatan penduduk Kota Semarang adalah 456 jiwa per km.[35] Peningkatan jumlah penduduk menyebabkan permintaan akan tempat tinggal bertambah pula. Bagi penduduk berpenghasilan menengah sampai tinggi, yang kebanyakan adalah orang-orang Eropa dan pengusaha Cina, serta pegawai pemerintahan Belanda, dapat membeli atau menyewa rumah tinggal di daerah yang strategis dan lingkungannya baik. Penduduk yang berpenghasilan rendah dan kebanyakan adalah orang-orang pribumi, hanya bisa membangun atau membeli rumah di kampung-kampung yang lingkungannya kurang baik. Orang Cina di Jawa sebagian besar tinggal di kota-kota. Suatu pencerminan tidak hanya dari asal-usul permukiman pedagang dan dari kegemaran mereka untuk mencari nafkah di kota, tetapi juga pencerminan dari kebijaksanaan yang tidak menentu dari pemerintah.

3.       Peranan Etnis Cina terhadap Perkembangan Perekonomian Kota Semarang
Perdagangan yang dilakukan oleh etnis Cina membawa pengaruh yang besar bagi pembangunan Kota Semarang. Pembangunan Kota Semarang tidak pernah lepas dari peran serta kaum pedagang dan industri, terutama orang Cina dan Asia Timur lainnya. Setelah itu bangsa Eropa yang kemudian datang ke Semarang.[36] Bangunan-bangunan di kota lama baik itu di Semarang ataupun di kota-kota lain di Jawa menjadi saksi bahwa perdagangan mampu menciptakan sebuah kota dagang yang besar.
Perdagangan dapat dibagi dalam tiga jenis, yaitu perdagangan besar yang pada umumnya dikuasai oleh perusahaan swasta Belanda, perdagangan kecil yang pada umumnya dikuasai oleh pedagang pribumi dan perdagangan perantara sebagai penghubung antara perdagangan besar dan perdagangan kecil yang pada umumnya dikuasai oleh golongan Timur Asing dan pribumi. Perdagangan perantara mempunyai dua fungsi, yaitu perdagangan distribusi dan perdagangan koleksi. Perdagangan distribusi terutama menyebarkan barang-barang konsumsi yang diimpor dari luar negeri. Sedangkan perdagangan koleksi bertugas mengumpulkan hasil-hasil tanaman dagang dari petani, baik langsung atau melalui pedagang kecil untuk diteruskan kepada pedagang besar.[37]
Pembuktian orang Cina sangat berperan dalam bidang pedagang perantara adalah sebuah tulisan dari Mac Nair dalam bukunya yang berjudul China Abroad. “Mereka (Orang Cina) adalah pemimpin dalam dunia peragangan kecil, dan bertindak sebagai perantara antara importir dan eksportir Belanda dan produsen serta konsumen pribumi”.[38] Pernitzsch menyimpulkan bahwa peranan orang Cina yang paling penting ialah dalam bidang perdagangan perantara (diartikan juga sebagai pedagang kecil) dan kerajinan tangan.
Selain perdagangan perantara, orang Cina juga menguasai perdagangan Klontong. Perdagangan klontong milik orang Cina adalah perdagangan bertaraf mancanegara, dimana barang-barang yang dijual memiliki mutu yang baik seperti sutera, porselin, barang-barang loak, barang-barang tembaga, kertas, obat-obatan, gula dan barang-barang kerajinan tangan mewah. Barang-barang ini ditukar dengan barang-barang hasil Indonesia seperti cengkeh, pala, bunga pala, lada, kayu cendana, dan kayu besi, emas, batu permata, barang-barang kering dan obat-obatan, barang-barang langka dan aneh (seperti burung, kulit penyu), dan timah. Selain itu barang-barang yang sangat disukai orang-orang Cina, yakni sarang burung.[39]
Perdagangan klontong biasanya dilakukan bersamaan dengan pemberian kredit kepada pembeli pribumi, yaitu menjual barang atas dasar kredit ataupun meminjamkan uang kontan, terlepas dari jual beli. Barang-barang yang diserahkan atas dasar pembayaran cicilan tentu saja lebih mahal harganya. Disamping harga belinya, dimasukkan pula bunga, risiko bila pembeli meninggal, melarikan diri, tidak mampu atau tidak mau membayar. Hubungan kredit mengakibatkan buruknya citra orang-orang Cina di kalangan penduduk desa. Kredit yang diberikan dengan bunga tinggi membuat orang Cina mendapat julukan “Cina Mendering” atau “Tukang Mendering” karena dianggap sebagai lintah darat dan pemeras.[40]
Selain sebagai pedagang Klontong dan Mindring, sebagian besar dari orang Cina di Jawa adalah pedagang borongan dan eceran. Pedagang borongan dan ecerannya pun bukan sembarangan. Baik di kota besar ataupun di pedesaan perdagangan ini wajib diperhitungkan.  Di desa-desa yang terkecil terdapat toko-toko[41] Cina yang menjual segala macam barang-barang konsumsi. Di kota-kota yang lebih besar toko-toko nya pun juga lebih besar mirip dengan toko-toko orang Eropa. Di kota-kota kecil di Jawa, toko-toko selain mengusahakan distribusi juga mengusahakan pemborongan hasil-hasil produksi pribumi dan juga hasil-hasil bumi seperti beras, jagung, kopra, kacang tanah, singkong, kapok, tembakau, gula[42], kopi dan lain-lain. Selain hasil bumi, juga hasil kerajinan tangan seperti batik, topi pandan, keranjang, barang-barang dari tanah, tikar, barang-barang dari kulit yang semuanya dibeli dari pemborong Cina.[43]
Pelabuhan Semarang semakin memiliki posisi yang penting pada awal abad ke-20 karena meningkatnya sektor perdagangan ekspor dan impor. Pada masa itu, barang-barang yang diekspor dari pelabuhan Semarang antara lain: gula, kopi, tembakau, kulit, kopra, tapioka, kayu, karet, rempah-rempah, dan hasil industri kerajinan dari seluruh penjuru Jawa Tengah serta beberapa pulau lain seperti Kalimantan, Lampung, dan Bengkulu. Barang-barang tersebut ditumpuk terlebih dahulu di gudang-gudang pelabuhan, kemudian didistribusikan ke pasar dunia seperti Singapura, Amerika, Jepang, dan beberapa negara Eropa.[44] Sejak dulu orang Cina memainkan peranan yang sangat penting dalam perdagangan ekspor. Gula merupakan hasil utama yang di ekspor ke berbagai negara seperti Tiongkok, Hongkong dan Singapura.[45]Orang-orang  Cina mendirikan pabrik-pabrik gula untuk mengolah gula bagi keperluan penduduk setempat dan untuk di ekspor.
Barang-barang impor berupa mesin, pakaian, mobil, bahan-bahan logam, bahan-bahan bangunan, bahan kimia, dan bahan makanan yang diimpor dari luar negeri seperti Eropa, Amerika, Australia, Afrika, dan beberapa negara di Asia masuk ke pelabuhan Semarang, kemudian didistribusikan ke daerah-daerah lain.[46] Aktivitas pelabuhan menjadikan Kota Semarang sebagai tempat penumpukan modal asing dan berkembangnya sistem produksi dari industri kecil yang berorientasi ke pasar lokal sampai ke industri besar yang berorientasi ke pasar dunia.
Peranan orang Cina dalam perdagangan Impor di Jawa sangat terbatas. Sebagai tangan pertama mereka membatasi pemasukan barang-barang dari Tiongkok yang jumlahnya sangat kecil. Barang-barang impor dari Tiongkok antara lain seperti rokok, buah-buahan dalam kaleng, makanan dari Tiongkok, tekstil, korek api, kertas dan sebagainya.[47] Orang Belanda menguasai bidang perkapalan dan usaha ekspor-impor. Selain itu mereka juga memungut pajak dan bea dari beberapa tempat di dalam jaringan perdagangan tersebut. Orang-orang Cina juga dipekerjakan sejak tahun 1860-an sampai 1930-an, sebagai buruh di perkebunan dan pertambangan yang menghasilkan komoditi untuk pasaran Eropa.[48]
Tabel 1
Ekspor Hasil Bumi di Semarang Tahun 1924

Nama Barang
Jumlah (Dalam Ton/Tahun)
Gula
Jagung
Tembakau
Tapioka
Kapok
Biji-bijian
Kayu
Kopra
Serat
Karet
463.628
14.848
12.474
9.979
9.877
6.361
4.350
3.682
3.283
3.049
Sumber: Creutzberg, “Perkembangan Semarang Sebagai Pelabuhan Ekspor Kolonial di Jawa Tengah Sejak Tahun 1900 dan Artinya Pada Masa Sekarang”, Peter J. M (Eds), The Indonesian City Studies in Urban Development and Planning. Dordrecht-Holland Cinnaminson USA: Foris Publications, hlm. 10.
Dari tabel dapat dilihat bahwa ekspor gula sangat mendominasi dalam ekspor 10 jenis hasil bumi lainnya di Semarang tahun 1924. Gula merupakan komoditi ekspor terbesar pada tahun 1924 yaitu sebesar 463.628 ton. Jumlah ekspor tersebut lebih dari 30 kali lipat dibandingkan jumlah ekspor jagung yang berada pada urutan kedua terbesar yaitu 14.848 ton.


KESIMPULAN
Semarang adalah sebuah kota yang sejak dulu ramai sebagai pusat perdagangan. Kota Semarang adalah salah satu kota pelabuhan yang penting di Pantai Utara Pulau Jawa. Sebagai sebuah kota perdagangan dan kota transit, Kota Semarang memiliki keanekaragaman penduduk. Masyarakat Kota Semarang terdiri dari penduduk asli, Bangsa Eropa, Etnis Cina dan Bangsa Asing Lainnya diantaranya adalah bangsa Arab, India dan Melayu. Pemerintah menetapkan daerah khusus bagi kediaman orang-orang Cina dan peraturan surat pas jalan antara tahun 1920-1950. Peraturan tersebut ialah sistem wijkenstelsel dan sistem passenstelsel yang mengharuskan orang-orang Cina tinggal di suatu bagian kota tertentu dan orang-orang Cina yang akan bepergian keluar Kota Semarang harus mendapatkan surat pas jalan. Pelanggaran-pelanggaran terhadap ketentuan ini akan diadili oleh suatu pengadilan polisi khusus disebut politie rol yang mempunyai kekuasaan sewenang-wenang sehingga dianggap ketidakadilan bagi orang-orang Cina. Peraturan ini bukan hanya menyakiti hati orang-orang Cina saja tetapi juga sangat merintangi perdagangan mereka. Setelah peraturan pemisahan pemukiman dan peraturan surat pas jalan dihapuskan masing-masing tahun 1914-1915, membuat kondisi mulai membaik. Orang-orang Cina mulai keluar dari lingkungan pecinan yang kumuh, kemudian membangun toko-toko dan rumah-rumah. Orang Cina seperti keluar dari belenggu dan kemudian pindah di kompleks-kompleks seperti di daerah Bodjong atau Duwet, kemudian meluas sampai ke daerah selatan seperti Seteran, Karangwulan dan sekitar Peterongan.
                Semarang terletak di pesisir Pantai Utara Jawa. Posisinya yang strategis inilah menjadikan Semarang sebagai kota Pelabuhan yang besar. Pemerintah kolonial Belanda mulai memikirkan pembangunan sarana dan prasarana perhubungan seperti jalan raya dan jalan kereta api sejalan dengan berkembang pesatnya perekonomian Kota Semarang. Pembangunan sarana dan prasarana dimulai dengan pembangunan jalan raya dan jalan kereta api. Sarana transportasi di Semarang pada masa kolonial Belanda sudah cukup maju. Jika di kota-kota besar lain pada tahun 1930-an belum memiliki trem, Semarang sudah memilikinya yang dinamakan Bodjong Expres. Pembuatan jalan kereta api pertama kali yang dipercayakan kepada pihak swasta yaituNederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij (NIS) pada tahun 1864 dari Semarang ke Surakarta dan Yogyakarta. Selain itu, peningkatan aktivitas perdagangan dan perekonomian menyebabkan peningkatan jumlah penduduk. Peningkatan jumlah penduduk ini menyebabkan permintaan akan tempat tinggal bertambah pula. Bagi penduduk berpenghasilan menengah sampai tinggi, yang kebanyakan adalah orang-orang Eropa dan pengusaha Cina, serta pegawai pemerintahan Belanda, dapat membeli atau menyewa rumah tinggal di daerah yang strategis dan lingkungannya baik. Penduduk yang berpenghasilan rendah dan kebanyakan adalah orang-orang pribumi, hanya bisa membangun atau membeli rumah di kampung-kampung yang lingkungannya kurang baik
                Peranan etnis Cina terhadap perekonomian Kota Semarang dapat dilihat dalam perdagangan. Perdagangan dapat dibagi dalam tiga jenis, yaitu perdagangan besar yang pada umumnya dikuasai oleh perusahaan swasta Belanda, perdagangan kecil yang pada umumnya dikuasai oleh pedagang pribumi dan perdagangan perantara sebagai penghubung antara perdagangan besar dan perdagangan kecil yang pada umumnya dikuasai oleh golongan Timur Asing dan pribumi. Selain sebagai pedagang perantara, orang-orang Cina juga menguasai perdagangan borongan dan eceran, perdagangan mindering dan klontong serta telah menguasai pasar internasional melalui perdagangan ekspor dan impor

DAFTAR PUSTAKA
Sumber Arsip
ANRI. (1977). Memori Serah Terima Jabatan 1921-1930 (Jawa tengah). Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia.

Sumber Buku dan Artikel
Colombijn, Freek dkk. (2005).  Kota Lama Kota Baru: Sejarah Kota kota di Indonesia. Yogyakarta: Ombak.
Denys Lombard. (1996).  Nusa Jawa: Silang Budaya, Kajian Sejarah Terpadu Bagian II: Kajian Asia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Djawatan Penerangan Kota Besar Semarang, (Kota Besar Semarang, 1953).
Djoko Suryo. (1989). Sejarah Sosial Pedesaan Karesidenan Semarang 1830-1900. Yogyakarta: PAU UGM.
Hari Poerwanto. (2005). Orang Cina Khek dari Singkawang. Depok: Komunitas Bambu.
Hartono Kasmadi, Wiyono. (1985).  Sejarah Sosial Kota Semarang (1900-1950). Jakarta: Depdikbud.
Hidajat Z. M. (1977). Masyarakat dan Kebudayaan Cina di Indonesia. Bandung: Tarsito.
Jacques, Martin. (2011). “When China Rules The World: The Rise of the Middle Kingdom and the end of the Western World”.a.b, Ketika Cina Menguasai Dunia:Kebangkitan Dunia Timur dan Akhir Dunia Barat. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Joe, Liem Thian. (1933). Riwayat Semarang,: Dari Zamannya Sampo Sampai Terhapusnya Kongkoan. Semarang- Batavia: Boekhandel Ho Kim Yoe.
______. (2004). Riwayat Semarang. Jakarta: Hasta Wahana.
John W Best, Research in Education. (1982). a.b., Sanapiah Faisal dan Mulyani Guntur  Winesa, Metode Penelitian Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional.
Jongkie Tio. Kota Semarang dalam Kenangan.  tt. pt.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. (1995).  Jakarta: Balai Pustaka.
Kuntowijoyo. (1994). Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana.
______.( 1995). Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Benteng Budaya.
Liem Twan Djie. (1995). Perdagangan Perantara Distribusi Orang-orang Cina di Jawa Suatu Studi Ekonomi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Nio Joe Lan. (1961). Peradaban Tionghoa Selayang Pandang. Jakarta: Keng Po.
Nourouzzaman Shaddiqi.  (1984). Menguak Sejarah Muslim: Suatu Kritik Metodologis. Yogyakarta: PLP2M.
Pratiwo. (2010). Arsitektur Tradisional Tionghoa dan Perkembangan Kota. Yogyakarta: Ombak.
Purcell, Victor. (1952). The Chinese in Southeast Asia. Oxford: Oxford University Press.
Radjimo Sastro Wijono. Permukiman Rakyat di Semarang Abad XX: Ada Kampung ramah AnakDalam Freek Colombijn (Ed). (2005).   Kota Lama Kota Baru, Sejarah Kota-Kota di Indonesia. Yogyakarta: Ombak dan NIOD.
Reiner, G. J. (1997). History It Purpose and Method, Alih bahasa oleh Muin Umar, Metode dan Manfaat Sejarah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sartono Kartodirdjo. (1992).  Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi  Sejarah. Jakarta : Gramedia
Tri Wahyuning M. Irsyam. (1985). “Golongan Etnis Cina sebagai Pedagang Perantara di Indonesia (1870-1930)”. Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional.
Veth, P.J. (1869). Aardrijkskundig en Statistisch Woordenboek van Nederlandsch Indie, Bewerkt Naar de Jongste en Beste Berigten. Amsterdam: P. N. van Kamp.
Yusiu Liem. (2000). Prasangka Terhadap Etnis Cina, Evaluasi 33 Tahun di Bawah Rezim Soeharto. Jakarta: Djambatan.

Tesis yang tidak diterbitkan
C. Santi Muji Utami. (1999). Perdagangan dan Pengaruhnya terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Semarang 1900-1930. Yogyakarta: Tesis Program Pascasarjana UGM.



[1] Freek Colombijn., dkk, Kota Lama Kota Baru: Sejarah Kota kota di Indonesia. 2005.Yogyakarta: Ombak, hlm. 30.
[2] Hartono Kasmadi, Wiyono, Sejarah Sosial Kota Semarang (1900-1950). Jakarta: Depdikbud, 1985, hlm, 57.
[3] Perang Candu adalah perang antara orang Cina melawan Inggris. Perang ditandai dengan perjanjian Nanjing dan Nanking dimana inggris mendapat hak untuk membuka dan membangun Xiangkang (Hongkong), hasilnya ketika inggris membutuhkan tenaga kerja untuk perkebunan di berbagai daerah di Hindia Belanda maka didatangkanlah orang-orang Cina bagian selatan. Hari Poerwanto, Orang Cina Khek dari Singkawang. Depok: Komunitas Bambu, 2005, hlm. 45.
[4] Pemberontakan Tayping adalah pemberontakan besar yang terjadi di pertengahan abad ke-19 terhadap dinasti Qing, akibat adanya cara pandang mandate dari langit dimana pemerintah berhak ikut campur penuh terhadap perekonomian rakyat yang justru membawa penderitaan bagi rakyat. Lihat Martin Jacques, “When China Rules The World: The Rise of the Middle Kingdom and the end of the Western World”,a.b, Ketika Cina Menguasai Dunia:Kebangkitan Dunia Timur dan Akhir Dunia Barat. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2011, hlm. 91.
[5] Tri Wahyuning M. I, Golongan Etnis Cina Sebagai Pedagang Perantara di Indonesia  (1870-1930). Jakarta: PSDN, 1985, hlm. 3.
[6] Jung adalah perahu besar untuk mengarungi lautan dibuat dari negeri Cina. Lihat Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia.Jakarta: Balai Pustaka, 1995,  hlm. 40.
[7] Nio Joe Lan, Peradaban Tionghoa Selayang Pandang. Jakarta: Keng Po, 1961. hlm. 7.
[8] Kedatangan orang Cina di Semarang sudah ada sejak terjalinnya hubungan dagang Cina dengan Sriwijaya sejak abad ke-13. Selanjutnya pendatang-pendatang lain datang ketika Cina dibawah kekuasaan dinasti Ming pada 1412pimpinan Cheng Ho. Lihat Hidajat Z. M, Masyarakat dan Kebudayaan Cina di Indonesia. Bandung: Tarsito, 1977, hlm. 74.
[9] Freek Colombijn., dkk, op. cit., hlm. 151.
[10] Wijkenstelsel adalah kebijakan pemerintah kolonial Belanda yang memisahkan  permukiman-permukiman penduduk berdasarkan Etnisitas. Lihat  Liem Thian Joe, Riwayat Semarang (Dari Djamannja Sam Poo Sampe Terhapesnja Kongkoan). Semarang-Batavia: Boekhandel Ho Kim Yoe, 1933, hlm, 89.
[11] Passenstelsel merupakan peraturan surat pas jalan. Peraturan ini mewajibkan seseorang (orang Cina) yang akan pergi dari suatu tempat ke tempat lain harus membawa pas atau surat jalan. Sistem passenstelsel atau sistem pas jalan berlaku saat orang Cina ingin bepergian ke tempat lain meninggalkan pecinan. Dalam Yusiu Liem, Prasangka Terhadap Etnis Cina, Evaluasi 33 Tahun di Bawah Rezim Soeharto. Jakarta: Djambatan, 2000, hlm. 20.
[12] Liem Thian Joe, op.cit, hlm. 190.
[13] Pratiwo, Arsitektur Tradisional Tionghoa dan Perkembangan Kota. Yogyakarta: Ombak, 2010, hlm. 38.
[14] Djawatan Penerangan Kota Besar Semarang, (Kota Besar Semarang, 1953). hlm. 35.
[15] Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Benteng Budaya, 1995, hlm. 17.
[16] Ibid, hlm. 89.
[17] Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi  Sejarah. Jakarta : Gramedia, 1992, hlm. 31.
[18] G.J Renier, History It Purpose and Method, Alih bahasa oleh Muin Umar, Metode dan Manfaat Sejarah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997, hlm.113.
[19] John W Best, Research in Education, Alih bahasa oleh Sanapiah Faisal dan Mulyani Guntur  Winesa, Metode Penelitian Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional.1982. hlm.39.
[20] Kuntowijoyo, op.cit., hlm. 99.
[21] Nourouzzaman Shaddiqi, Menguak Sejarah Muslim: Suatu Kritik Metodologis.Yogyakarta: PLP2M, 1984, hlm. 1.
[22] Kuntowijoyo,op.cit., hlm. 100.
[23] Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994, hlm. 17.
[24] Hartono Kasmadi, Wiyono, Sejarah Sosial Kota Semarang (1900-1950). Jakarta: Depdikbud, 1985, hlm. 8-9.
[25] “Semawis, naam Voor Samarang in het krama op hoog Javaansch. Stad op Java, residentie, regentschap en distrikt Samarang, op 31 palen van Salatiga, 43 van Poerwodadi, 66 NoordWest van Soerakarta, 64 Oost van Pekalongan, 367 Oost van Batavia en 415 West van BanjoewangiTerjemahan bebas dari ensiklopedia Hindia Belanda, Dalam P. J Veth,Aardrijkskundig en Statistisch Woordenboek van Nederlandsch Indie, Bewerkt Naar de Jongste en Beste Berigten. Amsterdam: P. N. van Kamp, 1869, hlm. 221 dan 285.
[26] ANRI, Memori Serah Terima Jabatan 1921-1930 (Jawa tengah), Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia, 1977, hlm. XXXVI.
[27] Suatu pengadilan khusus yang digunakan untuk mengadili siapa saja yang melakukan pelanggaran ketentuan pemerintah yang mengharuskan orang-orang Cina menetap di suatu lokasi terentu dan orang-orang Cina yang hendak bepergian keluar keto Semarang harus menggunakan surat terlebih dahulu.  Hartono Kasmadi, Wiyono, op. cit., hlm. 81.
[28] Ibid.
[29] Liem Twan Djie, Perdagangan Perantara Distribusi Orang-orang Cina di Jawa Suatu Studi Ekonomi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995, hlm. 36-37.
[30] Yusiu Liem, op. cit., hlm. 20.
[31] Liem Thian Joe, Riwayat Semarang. Jakarta: Hasta Wahana, 2004, hlm. 167.
[32] Radjimo Sastro Wijono, Permukiman Rakyat di Semarang Abad XX: Ada Kampung ramah AnakDalam Freek Colombijn (Ed),  Kota Lama Kota Baru, Sejarah Kota-Kota di Indonesia. Yogyakarta: Ombak dan NIOD, 2005, hlm. 152.
[33]  Hartono Kasmadi, Wiyono. op. cit., hlm. 82.
[34] Djoko Suryo, Sejarah Sosial Pedesaan Karesidenan Semarang 1830-1900. Yogyakarta: PAU UGM, 1989, hlm. 108-135.
[35] Ibid., hlm. 278. Lihat Pula Hartono Kasmadi, Wiyono, op. cit., hlm. 10-12.
[36] Djawatan Penerangan Kota Besar Semarang (Kota Besar Semarang, 1953), hlm. 16.
[37] Tri Wahyuning M. Irsyam, op. cit., hlm. 11.
[38] Ong Eng Dieop. cit., 1979, hlm. 36.
[39] Liem Twan Djie, op. cit., hlm. 22-23.
[40] Ong Eng Dieop, cit., hlm.44.
[41] Toko merupakan suatu kata yang berasal dari bahasa Hokian. Adalah semabrang ruangan tempat barang dagangan ditumpuk tanpa aturan yang jelas, atau ditata di rak-rak atau di sepanjang dinding. Lihat Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya, Kajian Sejarah Terpadu Bagian II: Kajian Asia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996, hlm. 300.
[42] Gula yang dimaksud bukanlah gula buatan pabrik, tetapi gula yang diolah oleh orang-orang Indonesia sendiri, yang disebut dengan ”gula mangkok” atau sekarang disebut gula merah, gula aren atau gula jawa.
[43] Ong Eng Die, op. cit., hlm. 54.
[44] C. Santi Muji Utami, Perdagangan dan Pengaruhnya terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Semarang 1900-1930. Yogyakarta: Tesis Program Pascasarjana UGM, 1999, hlm. 96.
[45]  Ong Eng Die, op. cit., hlm. 52-53.
[46] Ibid., hlm. 124.
[47] Ibid., hlm. 52.
[48] G. William Skinner. op. cit., hlm. 2.