Sabtu, 05 Oktober 2013

3 daerah

Oleh: Ana Ngatiyono S.Pd

RESENSI
Judul buku : One Soul One Struggle: Peristiwa Tiga Daerah Dalam
Revolusi Indonesia
Pengarang : Anton Lucas
Penerbit : Resist Book
Kota terbit : Yogyakarta
Tahun terbit : 2004
Tebal halaman : 400 halaman

Buku karangan Antom Lucas ini berisi mengenai perjalanan revolusi Indonesia yang terjadi di tiga daerah yaitu Tegal, Pemalang, dan Brebes (karisidenan Pakalongan). Peristiwa ini terjadi pada bulan Oktober sampai Desember 1945. Peristiwa ini terjadi setelah seluruh elite birokrat, pangreh praja (residen, bupati, wedana, camat), dan sebagain besar kepala desa diganti oleh aparatur pemerintah yang baru. Pergantian seluruh aparatur pemerintah ini berasal dari berbagai aliran yang pada waktu itu berkembang dan diakui oleh pemerintah yaitu Islam, komunis, serta sosialis. Disinilah mulai terjadi pertentangan antara golongan kiri dan golongan Islam ataupun golongan lain yang merasa dirugikan.
Peristiwa ini dapat mengambarkan bagaimana proses pergolakan tersebut. Sehingga Revolusi Tiga Daerah penting sebagai revolusi lokal Indonesia. Revolusi Tiga Daerah merupakan salah satu revolusi lokal Indonesia yang mempunyai ciri dan keunikan khusus karena dianggap sebagai sebuah revolusi rakyat untuk mengubah struktur masyarakat kolonial dan feodal menjadi sebuah masyarakat dengan hidup yang lebih demokratis tanpa penindasan dan eksploitatif dari pemeritah kolonial. Terjadinya revolusi ini merupakan wujud ketidakpuasan rakyat dengan kehidupan pada waktu itu yang didominasi oleh kemerosotan ekonomi dan kemelaratan sehingga membuat rakyat melakukan berbagai perlawanan terhadap elite birokrat. Perlawanan-perlawanan di karisedenan Pekalongan sebenarnya sudah dirintis sejak lama, antara lain Sarekat Rakyat Pekalongan tahun 1918 ataupun PKI dan Sarekat Rakyat tahun 1926 namun perlawanan-perlawanan ini hanya dalam lingkup kecil dan meletusnya Peristiwa Tiga Daerah ini merupakan titik puncak dari perlawanan-perlawanan tersebut.
Oleh sebab itu, dalam lebih memahmi Peristiwa Tiga Daerah harus terlebih dahulu mengetahui sejarah politik dari masing-masing daerah ini. Peristiwa-peristiwa ini antara lain, pada abad ke Sembilan belas terjadi aksi protes terhadap tanam paksa di pabrik gula dan beban wajib kerja (corvee) yang menjadi inti tanam paksa Belanda. Selanjutnya terjadi berbagai macam pemerontakan kecil diantaranya “ Brandal Mas Cilik” di Tegal yang merupakan pemebrontakan petani pada tahun 1864, pemberontakan ini dipimpin oleh dukun yang bernama Mas Cilik yang menyerang dan membunuh pegawai pabrik gula milik Belanda di Tegal. Selain itu, pada tahun 1926 berbarengan dengan meletusnya pemberontakan PKI di berbagai daerah, di Tegal juga terjadi pemberontakan petani yaitu aksi protes untuk melawan corvee dengan ideology mereka yaitu ideology komunis yang pada waktu itu merupakan salah satu ideologi masa terbesar di Indonesia. Akibat pemberontakan petani dengan payung komunis ini mengalami kegagalan, maka para pemimpin yang terlibat dalam aksi masa tersebut banyak dipenjarakan dan dibuang di Boven Digul. Setelah kembali dari pembuangan inilah mereka kembali mengorganisasi masa di Tiga Daerah untuk melakukan revolusi yang bertujuan mengubah struktur pemerintahan pada tahun 1945. Sehingga dapat disimpulkan bahwa terjadinya pemberontakan-pemberontakan petani merupakan embrio dari Peristiwa Tiga Daerah.
Tiga peristiwa penting di Tiga Daerah, meliputi berbagai sudut kajian yakni kekosongan kekuasaan pada tahun 1942, perebutan kekuasaan dan stabilisasi kekuasaan melalui proses kelompok radikal, hal ini penting untuk menjadi bahan kajian dan refleksi diri dari para penggerak pembaharuan. Peristiwa Tiga Daerah ini mempunyai nilai lebih dari hanya sekedar revolusi sosial untuk melakukan protes terhadap eksploitasi yang dilakukan Belanda, namun selain latar belakang sosial dan politik, serta ekonomi masih banyak sekali latar belakang lain sehingga peristiwa ini meletus dan menjadi peristiwa revolusi lokal yang penting. Faktor-faktor ini dapat diidentifikasi sebagai faktor kepemimpinan, ideologi dan konteks kebudayaanya. Dan untuk mengungkap segi-segi lain dari revolusi ini, Anton Lucas lebih mementingkan menggunakan sejarah lisan sebagai salah satu sumber utama penulisanya. Dengan penggunaan sumber lisan, dapat diketahui apa artinya revolusi bagi pelakunya sendiri sehingga akan ditemukan berbagai sebab kompleks terjadinya Peristiwa Tiga Daerah. 
Dalam buku ini juga dibahas mengenai latar belakang revolusi dilihat dari faktor fisik daerah. Brebes, yang berbatasan dengan Jawa barat yang berbahasa sunda dan daerah pedalaman Banyumas selatan, bukan saja secara geografi terpecah belah, melainkan adat istiadat dan bahasa ditarik kedua arah yaitu bahasa Jawa dan Sunda. Banyaknya perbedaan inilah yang mengakibatkan sering munculnya pergolakan di daerah ini. Tegal sebuah kota dengan kondisi masyarakat dengan tingkat kemiskinan lebih tinggi dari pada wilayah tetangganya yang juga melakukan revolusi lokal ini, meskipun demikian Tegal mempunyai kebanggaan karena dikuasai oleh seseorang yang mengerti betul perwatakan di wilayah ini. Pemalang sebuah kawasan yang cukup kaya dibandingkan dengan dua wilayah lainya. Revolusi yang terjadi di Pemalang ini merupakan pengaruh dari Brebes, Tegal atau Pekalongan. Peristiwa Tiga Daerah mebuktikan bahwa Pemalang dapat menjadi petunjuik jalan bagi daerah yang lain.
Dalam penulisan ini, kenapa penulis lebih menitikberatkan pada sumber lisan selain juga sumber tertulis karena sangat langka ditemukan sumber tertulis, sehingga sumber lisanlah sumber penting dsalam pengungkapan peristiwa ini. 
Sebagai salah satu peristiwa revolusi yang terjadi di Indonesia pada umumnya dan kerisedenan Pekalongan pada khususnya (Peritiwa Tiga Daerah), apabila dianalisa dari berbagai sudut pandang terjadinya peristiwa ini, maka akan diperoleh berbagai makna terjadinya peristiwa ini. Pertama, untuk memahami kejadian revolusi pada tahun 1945 ini ialah perubahan sebelumnya, yaitu dalam bidang ekonomi dan politik sebelum Perang Dunia Kedua. Hal ini harus dikaitkan juga dengan perubahan ekonomi akibat masuknya modal asing (Eropa) di abad sembilan belas dan sistem Tanam Paksa yang berpengaruh besar pada kehidupan petani. Di tempat yang ada pabrik gula, golongan elit birokrat (pangreh praja), maupun kepala desa sering bertindak sebagi pejabat kapitalis Eropa, seperti dalam soal sewa tanah, penarikan pajak dan corvee (kerja paksa) yang menyebabkan masyarakat kecil terutama para petani menajdi semakin menderita. Dari penderitaan inilah semangat revolusi muncul untuk melawan kolonial Belanda maupun birokrat pemerintah di masing-masing daerah dan munculah apa yang sering disebut sebagai Peristiwa Tiga Daerah.
Kedua, dampak pendudukan Jepang yang membebani rakyat dengan wajib pajak dalam wujud setor padi, romusha, tanam paksa, dan penjarahan bahan pokok. Walaupun dampak sistem penjatahan bahan pokok dalam romusha berbeda menurut tempat, yaitu tergantung pada sikap pejabat-pejabat lokal dan para pemimpin perjuangan setempat, namun pelaksanaan peraturan peraturan setoran padi merupakan beban yang berat dalam bidang ekonomi di masa penjajahan Jepang. Akibat kebijakan ini, telah menyebabkan terjadinya kelaparan dimana-mana termasuk juga di tiga daerah ini. Oleh sebab itu, muncul perasaan kebencian yang mendalam terhadap para elite birokrat, yang menurut rakyat dianggap sebagai biang keladi terjadinya berbagai kasus kelaparan yang diakibatkan kesewenang-wenangan dalam menarik setor padi. 
Ketiga, terlihatnya ciri-ciri revolusi sosial di masa revolusi di Pekalongan antara lain yaitu pembagian kekayaan, pengusiran atau pergeseran elite lama dan pemimpim tradisional lain yang dianggap terlalu keras terhadap rakyat dan setia kepada Belanda dan Jepang. Dalam hal ini revolusi di wilayah Pekalongan punya ciri khas tersendiri yaitu dengan adanya kekerasan terhadap golongan Cina, Indo-Belanda, Pangreh Praja dan Lurah. Namun pembahasan mengenai kekerasan terhadap orang-orang Cina masih simpang siur sehingga revolusi ini belum dapat dikatakan sebagai gerakan anti Cina. Hal ini dapat dibuktikan dari banyaknya orang-orang Cina yang menjadi pemimpin pejuang khususnya di Pemalang, selain itu, mereka juga menajdi penyumbang dana terbesar untuk membantu revolusi ini.
Dalam buku tulisan Anton Lucas ini juga membicarakan sifat revolusi Tiga Daerah dilihat dari berbagai pendekatan yang dilakukan, baik terhadap golongan kiri, Islam, maupun militer. Dalam mengikuti jejak para pemimpin aliran kiri di tiga daerah ini tidak sulit karena tokoh-tokoh kiri mempunyai peranan yang penting pada awal terjadinya revolusi. Kelompok-kelompok kiri yang berperan penting dalam Peristiwa Tiga Daerah ini dapat digolongkan menajdi berbagai kelompok, antara lain. Kelompok pertama, yang termasuk di dalam aliran kiri di Tiga Daerah, yaitu veteran pemberontakan komunis tahun 1926 bekas tokoh-tokoh yang dibuang di Boven Digul, termasuk di dalamnya pemimpin Barisan Pelopor dan Badan Pekerja di Tegal dan Brebes, AMRI Slawi, dan Gabungan Badan Perjuangan Tiga Daerah (GBP3D) itu. Mereka anti fasis dan tidak berkompromi dengan Belanda dan pengikutnya yaitu kalangan feodal atau pangreh praja. 
Kelompok kedua, yaitu kelompok sosialis yang berpengaruh di tegal dan Brebes ikut mengaktifkan KNI sebagai wakil pemerintahan sesudah proklamasi dan berusaha mempengaruhi sikap pangreh praja ke arah yang lebih mendukung republik yang baru. Di antara ada yang duduk dalam GBP3D yang diketuai oleh K. Mijaya itu. Kelompok sosialis juga mempunyai saluran ke tingkat nasional lewat dua tokoh yang berasal dari Tegal. Yang pertama, Supeno, anggota partai sosialis dan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP) yang kemudian menjadi Menteri Pembangunan dan Pemuda dalam Kabinet Hatta yang pertama (1948-1949), membela perkara Tiga Daerah di Pengadilan Pekalongan pada awal 1947. tokoh kedua ialah Subagio Mangunrahaharjo pemimpin PNI-baru dan sahabat Perdana Menteri Sutan Syahrir.
Kelompok ketiga yaitu PKI bawah tanah. Dimulai akhir tahun 30-an di Surabaya Widarta dan K. Mijaya cs, telah memupuk kader-kader yang progresif melawan fasisme. Tindakan mereka di masa pendudukan Jepang, antara lain di Lasem, Blitar, dan Pemalang, meskipun dengan jaringan lokal yang terbatas, tetapi ikut menentukan cita-cita Gerakan Tiga Daerah itu. Dam justru kelompok progresif inilah yang melakukan berbagai tindakan ekstrem saat Peristiwa Tiga Daerah Berlangsung.
Selain kelompok kiri yang terdiri dari golongan sosialis dan komunis elemen lain yang juga sangat penting perananya dalam Peristiwa Tiga Daerah adalah, kelompok Islam. Golongan agama di Pekalonagn terpecah antara Islam nasionalis dan Islam Muhammadiyah. Islam nasionalis sejak zaman Sarekat Islam, melakukan kegiatan melawan kolonial Belanda maupun Jepang yang tokohnya antara lain KH Abu Sujai yang menjadi bupati Tegal pada waktu Peristiwa Tiga Daerah itu. Di Tegal, 22 persen camat baru yang terpilih terdiri dari golongan Islam nasionalis. Di Pemalang, kelompok ini disebut sebagai santri rakyat, dengan maksud untuk membedakan mereka dari golongan Muhammadiyah yang anggotanya adalah golongan priyayi, sedangkan di Pekalongan anggota Muhammadiyah adalah para pedagang. Tokoh Islam Muhammdiyah adalah KH. Iskandar Idris, komandan TKR Pekajangan, yang merupakan gabungan dari dua elemen perjuangan yaitu TKR dan Muhamadiyah yang berhasil menghentikan pemerintah revolusioner baru, baik di karisidenan Pekalongan maupun di Tiga Daerah yaitu Tegal, Brebes, dan Pemalang. Namun golongan Muhammadiyah pada waktu itu kurang memahami bahwa masalah kemiskinan santri-santri di Tiga Daerah itu serta hubunganya dengan masalah yang dimiliki oleh kaum revolusioner di Tiga Daerah.
Militer di Pekalongan pendekatan lain yang dilakukan oleh Anton Lucas dalam melihat revolusi lokal pada waktu itu. Karena sekutu tidak mendarat di Pekalongan, maka TKR mengutamakan perlawanan terhadap sekutu di Front Semarang. TKR menganggap transportasi tenaga dan logistik dari Pekalongan ke front Semarang dihalangi oleh penguasa baru, sehingga tindakan ini oleh TKR dikategorikan sebagai penghalang fokus perjuangan nasional pada waktu itu. Di pihak lain, kaum revolusioner menganggap TKR sebagai alat pangreh praja dan kekuatan feodal lama, dengan alasan bahwa perwira TKR terdiri dari kalangan priyayi, yaitu anak-anak dari pangrehpraja setempat. Dari sudut inilah dapa dilihat dari latar belakang mengapa TKR menangkap dan memenjarakan residen Pekalongan yang baru, beserta seluruh staf dan pengikutnya, dan para pemimpin revolusioner di Tiga Daerah.
Seperti yang sudah dijelaskan diatas bahwa penyebab peristiwa Tiga Daerah bukan hanya dari sektor ekonomi maupun politik, tetapi juga dapat dilihat dari faktor budaya. Oleh sebab itulah, penulis banyak mengunakan sumber lisan yang dimaksudkan agar penyebab lain peristiwa ini dapat terungkap. Sehingga untuk menjelaskan sifat revolusi yang lain dapat melakukan pendekatan yaitu dari persepsi kesadaran atau perasaan gejolak revolusi ini telah mempersatukan veteran PKI 1926, santri, rakyat dan pemuda di kota dengan para Lenggaong dan pemimpin Islam nasionalis.Menurut pandangan kaum priyayi bahwa kepemimpinan revolusi sosial itu adalah sesuatu yang berasal dari luar atau asing, namun menurut golongan kiri revolusioner, tujuan utama revolusi mereka adalah penghapusan hierarki sosial dalam penggunaaan bahasa. Mereka menghendaki hapusnya sebutan-sebutan untuk kaum priyayi dan menggunakan bahasa Jawa rendah dalam berkomunikasi, dan hal ini merupakan suatu gerakan radikal yang mendasar di dalam konteks kebudayaan Jawa. Hal ini juga didasarkan tujuan dari ideology komunis yaitu persamaan diantara seluruh rakyat,.
Kelebihan Buku
Buku karangan Anton Lucas ini berisi data-data yang objektif karena sumber yang digunakan merupakan perpaduan antara sumber lisan dengan arsip-arsip. Penjelasan didalamnya juga sudah cukup detail karena banyak mengungkapkan latar belakang peistiwa dengan terlebih dahulu menrik garis dari peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelum Peristiwa Tiga Daerah Berlangsung. Selain itu, pendekatan-pendekatan yang dilakukan penulis terhadap berbagai golongan, baik golongan kiri, Islam, maupun militer telah mengungkapkan berbagai sifat dan ciri Revolusi Tiga Daerah ini. Sedangkan dari sumber lisan yang dugunakan dapat dipandang sebagai sebuah kalemahan dan kelebihan. Dipandang sebagai kelebihan karena dengan sumber lisan isi buku Anton Lucas dapat menjelaskan makna revolusi bagi tiap-tiap pelaku sehingga dapat menambah latar belakang peristiwa ini.

Kelemahan Buku
Kelemahan dalam buku ini yaitu karena isinya banyak terdapat tempat tokoh dan peristiwa dalam waktu yang relative singkat. Pendekatan kronologis dalam penulisan ini juga kurang karena peristiwa ditulis terkadang tidak sesuai dengan kronologis waktu. Sementara dari sumber lisan yang digunakan, apabila dilihat dari segi kelemahanya, maka sumber lisan terkadang banyak unsure subjektifitas dari para responden karena terkadang data yang digunakan tidak terlepas dari kepentingan responden.

3 daerah

Judul Buku : Peristiwa Tiga Daerah, Revolusi dalam Revolusi.
Penulis: Anton E. Lucas
Buku asli: Disertasi penulis dengan judul, “The Bamboo Spear Pierces the Payung : The Revolution againts the Bureaucratic Elite in North central Java ini 1945″
Penerbit : PT Pustaka Utama Grafiti, 1989.
halaman xvi+376

Kebudayaan Indonesia, selama lebih dari tiga dasawarsa pemerintahan orde baru, di definisikan sebagai puncak-puncak kebudayaan nasional. Penulis pribadi, tidak pernah mengerti apa itu sebenarnya puncak-puncak kebudayaan nasional, karena jika dirunut kemudian yang ada adalah kebudayaan pusat dan daerah. Yang kemudian terpatri adalah bahwa wayang kulit adalah kebudayaan nasional, ledhek adalah kebudayaan daerah. Batik adalah bagian dari kebudayaan nasional, sementara koteka adalah pakaian tradisional masyarakat irian.

Dikotomi nasional daerah atau pusat daerah, ternyata tidak berhenti disana. Sejarah pun demikian. Adakah diantara kita yang pernah mendengar atau menerima pelajaran disekolah tentang “Peristiwa Tiga Daerah?” Aku ragu jika ada yang menjawab iya, kecuali, anda adalah mahasiswa jurusan sejarah yang memang berkecimpung dalam bidang itu. Sangat menyedihkan bahwa banyak catatan sejarah sengaja dipendam, kemudian terpendam, lalu terlupakan, hilang dari ingatan hanya karena ceritanya tidak menaikkan gengsi penguasa saat itu.

Buku yang ada sampulnya terpajang dalam halaman ini, berjudul “Peristiwa Tiga Daerah,Revolusi dalam revolusi”. Ditulis oleh Anton E Lucas. Aslinya, adalah sebuah disertasi dari penulisnya, yang berjudul “The Bamboo Spear Pierces the Payung : The Revolution againts the Bureaucratic Elite in North central Java ini 1945″.

Peristiwa tiga daerah adalah suatu peristiwa dalam sejarah revolusi Indonesia yang terjadi antara oktober sampai desember 1945 di Kabupaten Brebes, Tegal, Pemalang, di keresidenan Pekalongan Jawa tengah, dimana seluruh elite birokrat, pangreh praja (residen, bupati, wedana dan camat), dan sebagian besar kepala desa “didaulat” dan diganti oleh aparat pemerintahan baru, yang terdiri dari aliran-aliran islam, sosialis dan komunis (hal7).

Peristiwa ini sering disebut, tetapi pengertiannya masih kabur. Kata-kata perampokan, penyelewengan dan pemberontakan masih sering dipakai disamping kata-kata pergerakan, perjuangan atau peristiwa untuk tiga daerah. Sejarah tiga daerah penting sebagai peristiwa lokal revolusi Indonesia, karena merupakan sebuah revolusi sosial dengan ciri khas tersendiri. Disini, revolusi sosial diartikan sebagai suatu revolusi untuk mengubah struktur masyarakat kolonial feodal menjadi susunan masyarakat yang lebih demokratis. Cita-cita ini mulai diperjuangkan oleh sarekat Islam di Pekalongan pada tahun 1918, diteruskan oleh gerakan PKI dan syarekat rakyat sampai dengan tahun 1926, tetapi baru tercapai pada bulan oktober-november 1945.

Untuk memahami mengapa terjadi Peristiwa Tiga Daerah pada tahun 1945, kita perlu juga mengetahui sejarah politik daerah tersebut. Pada abad sembilan belas, terjadi aksi protes terhadap tanam paksa (gula) dan beban wajib kerja (corvee) yang menjadi inti dari sistem Tanam Paksa Belanda. “Brandal Mas Cilik” di Tegal merupakan pemberontakan petani pada tahun 1864, dipimpin seorang dukun yang bernama Mas Cilik, yang menyerang pabrik gula dan membunuh pegawai belanda.

Aksi protes muncul lagi pada tahun 1926 dengan pemberontakan di dukuh karangcegak, selatan tegal. Kali ini petani melawan corvee dengan senjata ideologi modern, yaitu komunis. Peristiwa pemberontakan tahun 1926 ini mengakibatkan banyak pemimpin tegal dibuang ke tempat pengasingan Boven Digul di irian Jaya. Golongan inilah yang muncul kembali memimpin badan-badan perjuangan dan menyusun strategi politik mengubah struktur pemerintah di Tiga daerah pada tahun 1945 itu.

***

BUku yang terdiri dari sebelas Bab dan 60 sub judul ini menarik untuk disimak. Direkomendasikan terutama bagi anda peminat sejarah dan tidak ingin melulu hanya menerima “statemen resmi” negara. Buku yang awalnya disertasi ini, seperti layaknya buku sejarah yang berangkat dari disertasi juga, berisi berbagai lampiran data-data tertulis, catatan-catatan notulensi dan wawancara dengan banyak tokoh yang memahami sejarah tiga daerah ini.

Langkah-Langkah Dalam Penelitian Sejarah


 
1.    Pemilihan topik
     Sebelum melakukan proses penelitian sejarah, seorang sejarawan perlu melakukan pemilihan topic penelitian. Topik yang dipilih haruslah bernilai. Artinya, dalam pemilihan topik penelitian mutlak terdapat unsure-unsur keunikan peristiwa, tidak bersifat majemuk, dan tidak bersifat multidimensional. Topic tersebut juga harus bersifat orisinil. Artinya topic yang diteliti merupakan sebuah upaya pembuktian baru atau bias juga merupakan interpretasi baru yang terkait dengan perkembangan historiografi dan teori metodologi ilmu sejarah. Topic yang dipilih juga harus praktis. Artinya sumber-sumber sejarah yang dibutuhkan dalam penelitian haruslah mudah untuk dijangkau, memiliki signifikansi antara fakta dan argumentasi, serta memiliki validitas sumber, fakta, dan argumentasi. Terakhir, topic yang dipilih juga harus memiliki kesatuan ide antara nilai, orisinalitas, dan kepraktisan dalam proses pemilihan topik. 
     Dalam pemilihan topik, seorang sejarawan harus memperhatikan kedekatan emosional dan intelektualnya terhadap topik yang dipilih. Kedekatan emosional terlihat dari sikap peneliti dalam melakukan penelitian sejarah. Apabila seorang penelitimelakukan proses penelitian sejarahnya dengan senang hati, tentu saja kemungkinan untuk mendapatkan hasil penelitian yang maksimal akan lebih besar dibandingkan dengan seorang peneliti yang melakukan penelitiannya dengan setengah hati. Selain kedekatan emosional, kedekatan intelektual jugapatut diperhatikan. Kedekatan intelektual akan terlihat dari kemempuan intelektual peneliti dalam menganalisis objek sejarah dengan memanfaatkan sebanyak mungkin teori-teori social yang ada.
     Ketika memulai pemilihan topik penelitian, seorang sejarawan pemula dapat berpegang pada empat perangkat pertanyaan. Pertama, perangkat pertanyaan yang bersifat geografis (di mana?). Kedua, perangkat pertanyaan yang bersifat biografis (siapa?). ketiga, perangkat pertanyaan yang bersifat kronologis (kapan/bagaimana?). Keempat, perangkat pertanyaan yang bersifat fungsional atau okupasional (apa? Atau lingkungan manusia mana yang paling menarik?)
     Keempat perangkat pertanyaan ini akan mengarahkan sejarawan itu pada batas-batas penelitian sejarahnya. Hal ini dapat dilihat dari jawaban atas keempat perangkat pertanyaan tersebut. Misalnya, jawaban untuk pertanyaan pertama adalah Tanah Batak. Jawaban untuk pertanyaan kedua adalah Sisingamangaraja XII. Jawaban untuk pertanyaan ketiga adalah pada masa Kolonial Belanda. Jawaban untuk pertanyaan keempat adalah perlawanan. Dari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, terlihat bahwa sejarawan menaruh perhatian pada perlawanan Sisisngamaraja XII di Tanah Batak pada masa colonial Belanda.
     Topik ini dapat dipersempit dan diperluas. Pengurangan atau perluasan ruang lingkup objek penelitian sejarah tergantung pada sejarawan sendiri. Dalam melakukan hal ini, tentu sejarawan harus memperhatikan waktu yang tersedia baginya dan sumber penelitian yang tersedia.
     Untuk dapat memilih topic dengan baik, ada beberapa kesalahan yang harus dihindari sebagai berikut.
1.      Kesalahan Baconian, yaitu pendapat bahwa tanpa teori, konsep, ide, paradigma, praduga, hipotesis, atau generalisasi yang lain, penelitian sejarah dapat dilakukan.
2.      Kesalahan terlalu banyak pertanyaan. Dalam melakukan suatu penelitian, beberapa hal tidak boleh ditanyakan sekaligus.  Pertanyaan yang terlalu banyak membuat fokus pertanyaan akan hilang. Akibatnya, sejarah yang ditulis hanya akan mengemukakan kebenaran yang sudah diketahui.
3.      Kesalahan pertanyaan yang bersifat dikotomi, yaitu pandangan sejarah yang hitam putih atau seolah-olah sejarah hanya memiliki dua kemungkinan. Dengan ini, seakan-akan sejarawan bertugas mengadili, padahal seorang sejarawan bertugas untuk melukiskan peristiwa sebagaimana hal itu benar-benar terjadi.


2. Heuristik

Heuristik berasal dari kata Yunani, heuriskein, artinya menemukan. Heuristik, maksudnya adalah tahap untuk mencari, menemukan, dan mengumpulkan sumber-sumber berbagai data agar dapat mengetahui segala bentuk peristiwa atau kejadian sejarah masa lampau yang relevan dengan topik/judul penelitian.
Untuk melacak sumber tersebut, sejarawan harus dapat mencari di berbagai dokumen baik melalui metode kepustakaan atau arsip nasional. Sejarawan dapat juga mengunjungi situs sejarah atau melakukan wawancara untuk melengkapi data sehingga diperoleh data yang baik dan lengkap, serta dapat menunjang terwujudnya sejarah yang mendekati kebenaran. Masa lampau yang begitu banyak periode dan banyak bagian-bagiannya (seperti politik, ekonomi, sosial, dan budaya) memiliki sumber data yang juga beraneka ragam sehingga perlu adanya klasifikasi data dari banyaknya sumber tersebut.
Dokumen-dokumen yang berhasil dihimpun merupakan data yang sangat berharga Dokumen dapat menjadi dasar untuk menelusuri peristiwa-peristiwa sejarah yang telah terjadi pada masa lampau. Menurut sifatnya ada dua, yaitu sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer adalah sumber yang dibuat pada saat peristiwa terjadi, seperti dokumen laporan kolonial. Sumber primer dibuat oleh tangan pertama, sementara sumber sekunder merupakan sumber yang menggunakan sumber primer sebagai sumber utamanya. Jadi, dibuat oleh tangan atau pihak kedua. Contohnya, buku, skripsi, dan tesis.
Jika kita mendapatkan sumber tertulis, kita akan mendapatkan sumber tertulis sezaman dan setempat yang memiliki kadar kebenaran yang relatif tinggi, serta sumber tertulis tidak sezaman dan tidak setempat yang memerlukan kejelian para penelitinya. Dari sumber yang ditemukan itu, sejarawan melakukan penelitian. Tanpa adanya sumber sejarah, sejarawan akan mengalami kesulitan menemukan jejak-jejak sejarah dalam kehidupan manusia. Untuk sumber lisan, pemilihan sumber didasarkan pada pelaku atau saksi mata suatu kejadian. Narasumber lisan yang hanya mendengar atau tidak hidup sezaman dengan peristiwa tidak bisa dijadikan narasumber lisan.
Tampak bahwa heuristik sejarah tidak berbeda hakikatnya dengan kegiatan bibliografis yang lain sejauh berkaitan dengan buku. Akan tetapi sejarawan tidak hanya bekerja dengan buku-buku seperti itu, ia juga harus menggunakan materi yang tidak terdapat dalam buku-buku itu, seperti bahan-bahan arkeologis, epigrafis, numismatis, dokumen resmi, dan dokumen-dokumen pribadi.
Dari dokumen-dokumen ini, tentu sejarawan lebih menaruh minat terhadap dokumen yang dianggapnya penting. Untuk mengetahui dokumen mana yang lebih penting seorang sejarawan harus berpegang pada empat aturan umum berikut.
1.      Semakin dekat waktu pembuatan dokumen dengan peristiwa yang direkamnya, maka semakin baik dokumen tersebut bagi tujuan sejarah. Hal itu karena semakin lama proses observasi suatu peristiwa dilakukan, semakin banyak pula factor yang akn mempengaruhi tingkat kepercayaan dari hasil observasi tersebut.
2.      Semakin serius pengarang membuat rekaman peristiwa, dokumennya akan semakin dapat dipercaya sebagai sebuah sumber sejarah. Penyebabnya adalah dalam pembuatan rekaman peristiwa, setiap pengarang memmpunyai berbagai macam tujuan, entah itu untuk arsip pribadi atau alat bantu bagi ingatan seseorang, atau sebagai alat propagandayang berisi rekaman peristiwa secara berlebih-lebihan.
3.      Semakin sedikit segmen yang pembaca yang dirancang untuk sebuah dokumen (misalnya, semakin besar sifat rahasianya), maka semakin besar kemungkinannya bahwa dokumen itu bersifat murni.
4.      Semakin tinggi tingkat keahlian si penyusun laporan pada bidang yang dilaporkannya, maka laporan itu akan semakin dapat dipercaya.

Agar pengumpulan sumber informasi sejarah dapat berlangsung dengan baik, ada beberapa kesalahan yang harus dihindari seperti berikut.
1.      Kesalahan holisme. Kesalahan holisme adalah kesalahan yang terjadi akibat sejarawan memilih satu bagian yang penting dan menganggap pemilihan bagian tersebut dapat mewakili keseluruhannya. Misalnya, untuk sejarah revolusi, orang membuat generalisasi seolah-olah apa yang terjadi di Medan juga berlaku untuk daerah lain. Hal ini jelas salah karena latar belakang medan pada proklamasi berbeda dengan Jawa, Sulawesi, Kalimantan, maupun Bali.
2.      Kesalahan pragmatis. Kesalahan pragmatis adalah kesalahan yang terjadi karena sumber dipilih untuk tujuan tertentu. Pengumpulan sumber seprti ini sering tidak utuh. Misalnya dalam buku Base Of Conflict in Rural Java oleh Margo L. Lyion, untuk membenarkan aksinya, PKI mengeluarkan daftar pemusatan kepemilikan tanah. Fakta ini menyembunyikan kenyataan-kenyataan yang sebenarnya
3.      Kesalahan od hominem. Kesalahan od hominem adalah kesalahan ini muncul akibat dalam pengumpulan sumber sejarah peneliti memilih orang, otoritas, profesi, pangkat, atau jabatan tertentu. Untuk menghindarinya, perlu dilakukan pengumpulan data dari tiga sumber yaitu, pihak yang berkaitan dengan peristiwa, pihak yang saling bertengtangan, dan saksi mata yang tidak terlibat sama sekali.  

3. Verifikasi
Verifikasi adalah penilaian terhadap sumber-sumber sejarah. Verifikasi dalam sejarah memiliki arti pemeriksaan terhadap kebenaran laporan tentang suatu peristiwa sejarah. Penilaian terhadap sumber-sumber sejarah menyangkut aspek ekstern dan intern. Aspek ekstern mempersoalkan apakah sumber itu asli atau palsu sehingga sejarawan harus mampu menguji tentang keakuratan dokumen sejarah tersebut, misalnya, waktu pembuatan dokumen, bahan, atau materi dokumen. Aspek intern mempersoalkan apakah isi yang terdapat dalam sumber itu dapat memberikan informasi yang diperlukan. Dalam hal ini, aspek intern berupa proses analisis terhadap suatu dokumen.
Aspek ekstern harus dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut.
a. Apakah sumber itu merupakan sumber yang dikehendaki (autentitas)?
b. Apakah sumber itu asli atau turunan (orisinalitas)?
c. Apakah sumber itu masih utuh atau sudah diubah (soal integritas)?

Setelah ada kepastian bahwa sumber itu merupakan sumber yang benar diperlukan dalam bentuk asli dan masih utuh, maka dilakukan kritik intern. Kritik intern dilakukan untuk membuktikan bahwa informasi yang terkandung di dalam sumber itu dapat dipercaya, dengan penilaian intrinsik terhadap sumber dan dengan membandingkan kesaksiankesaksian berbagai sumber.
Langkah pertama dalam penelitian intrinsik adalah menentukan sifat sumber itu (apakah resmi/formal atau tidak resmi/informal). Dalam penelitian sejarah, sumber tidak resmi/informal dinilai lebih berharga daripada sumber resmi sebab sumber tidak resmi bukan dimaksudkan untuk dibaca orang banyak (untuk kalangan bebas) sehingga isinya bersifat apa adanya, terus terang, tidak banyak yang disembunyikan, dan objektif.
Langkah kedua dalam penilaian intrinsik adalah menyoroti penulis sumber tersebut sebab dia yang memberikan informasi yang dibutuhkan. Pembuatan sumber harus dipastikan bahwa kesaksiannya dapat dipercaya. Untuk itu, harus mampu memberikan kesaksian yang benar dan harus dapat menjelaskan mengapa ia menutupi (merahasiakan) suatu peristiwa, atau sebaliknya melebih-lebihkan karena ia berkepentingan di dalamnya.
Langkah ketiga dalam penelitian intrinsik adalah membandingkan kesaksian dari berbagai sumber dengan menjajarkan kesaksian para saksi yang tidak berhubungan satu dan yang lain (independent witness) sehingga informasi yang diperoleh objektif. Contohnya adalah terjadinya peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta.
            Ada perdebatan tentang siapa tokoh penggagas Serangan Umum itu sebenarnya. Ada tiga penafsiran atau pendapat mengenai hal ini.
a.      Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebab beliau adalah penguasa kerajaan yang berwenang mengadakan serangan.
b.      Jenderal Soedirman yang berhasil menghimpun kembali kekuatan TNI yang berwenang mengadakan Serangan Umum.
c.      Letkol. Soeharto sebagai Komandan Brigade X kota Yogyakarta yang berinisiatif melancarkan Serangan Umum untuk membuktikan kekuatan TNI.

Menurut strategi dalam Serangan Umum 1 Maret 1949, kita mengetahui bahwa sektor barat di bawah pimpinan Vence Sumual dan Letkol Soeharto, sektor utara di bawah pimpinan Mayor Kusno, sektor selatan dan timur di bawah pimpinan Mayor Sarjono, serta sektor kota di bawah pimpinan Letnan Masduki dan Amir Murtono. Serangan Umum 1 Maret mempunyai arti penting, yaitu mendukung perjuangan diplomasi, meninggikan moral rakyat dan TNI yang sedang bergerilya, menunjukkan kepada dunia internasional bahwa TNI masih ada dan mampu untuk melawan penjajah, serta untuk mematahkan moral Belanda.

Sumber-sumber yang diakui kebenarannya lewat verifikasi atau kritik, baik intern maupun ekstern, menjadi fakta. Fakta adalah keterangan tentang sumber yang dianggap benar oleh sejarawan atau peneliti sejarah. Fakta bisa saja diartikan sebagai sumbersumber yang terpilih.

Agar objektivitas sejarah dapat disajikan oleh sejarawan dengan baik, ada beberapa kesalahan yang harus mereka hindari sebagai berikut.
1.      Kesalahan pars pro toto. Kesalahan ini terjadi karena ada anggapan bahwa bukti yang hanya berlaku untuk keseluruhan. Misalnya dalam karya “Habis Gelap Terbitlah Terang, Kartini mengeluh bahwa wanita Jawa selalu dipingit. Keluhan in sebenarnya hanya terbukti untuk anak-anak gadis bangsawan. Hal ini tidak dialami oleh anak-anak gadis desa dan pesantren.
2.      Kesalahan totem pro porte. Kesalahan ini adalah kebalikan dari kesalahanpars pro toto. Sejarawan mengemukakan keseluruhannya, padahal yang dimaksudkan adalah bukti untuk sebagian. Misalnya, semua orang yang bersekolah di negeri Belanda digambarkan seolah-olah menjadi orang barat yang berpikir dan berbicara seperti orang Belanda. Padahal Sosrokartono kemudian menjadi mistikus.
3.      Kesalahan menganggap pendapat umum sebagai fakta. Hal ini sering terjadi. Misalnya, orang Cina dianggap pandai berdagang. Anggapan ini mendorong berdirinya koperasi-koperasi Syariat Islam padahal ada juga orang Cian yang menjadi pembantu rumah tangga.


4. Interpretasi
Interpretasi adalah menafsirkan fakta sejarah dan merangkai fakta tersebut menjadi satu kesatuan yang harmonis dan masuk akal. Interpretasi dalam sejarah dapat juga diartikan sebagai penafsiran suatu peristiwa atau memberikan pandangan teoritis terhadap suatu peristiwa. Sejarah sebagai suatu peristiwa dapat diungkap kembali oleh para sejarawan melalui berbagai sumber, baik berbentuk data, dokumen perpustakaan, buku, berkunjung ke situs-situs sejarah atau wawancara, sehingga dapat terkumpul dan mendukung dalam proses interpretasi. Dengan demikian, setelah kritik selesai maka langkah berikutnya adalah melakukan interpretasi atau penafsiran dan analisis terhadap data yang diperoleh dari berbagai sumber.
Interpretasi dalam sejarah adalah penafsiran terhadap suatu peristiwa, fakta sejarah, dan merangkai suatu fakta dalam kesatuan yang masuk akal. Penafsiran fakta harus bersifat logis terhadap keseluruhan konteks peristiwa sehingga berbagai fakta yang lepas satu sama lainnya dapat disusun dan dihu-bungkan menjadi satu kesatuan yang masuk akal.
Bagi kalangan akademis, agar dapat menginterpretasi fakta dengan kejelasan yang objektif, harus dihindari penafsiran yang semena-mena karena biasanya cenderung bersifat subjektif. Selain itu, interpretasi harus bersifat deskriptif sehingga para akademisi juga dituntut untuk mencari landasan interpretasi yang mereka gunakan. Proses interpretasi juga harus bersifat selektif sebab tidak mungkin semua fakta dimasukkan ke dalam cerita sejarah, sehingga harus dipilih yang relevan dengan topik yang ada dan mendukung kebenaran sejarah.
Ada dua macam interpretasi, yakni analisis dan sintesis. Analisis berarti menguraikan. Dalam analisis, beberapa kemungkinan yang dikandung oleh suatu sumber sejarah dicoba untuk dilihat. Misalnya dalam suatu dokumen yang ditemukan ada suatu daftar anggota wajib militer suatu Negara. Dari daftar tersebut, terlihat sejumlah nama yang menunjukkan kekhasan daerah-daerah tertentu yang berbeda-beda. Dari daftar tersebut, dapat dianalisis bahwa anggota wajib militer itu terdiri dari beraneka ragam suku bangsa.
            Sementara itu, sintetis berarti menyatukan. Dalam sintetis, beberapa data yang ada dikelompokkan menjadi satu dengan generalisasi konseptual. Misalnya, ada data tentang pertempuran, rapat-rapat, mobilisasi massa, penggantian pejabat, pembunuhan, orang-orang yang mengungsi, penurunan dan pengibaran bendera. Peng-sintetis-an data-data tersebut menghasilkan fakta bahwa telah terjadi revolusi.
            Untuk menghasilkan interpretasi yang baik, ada beberapa hal yang harus dimiliki oleh seorang sejarawan, seperti keterampilan dalam membaca sumber. Keterampilan ini mencakup keterampilan dalam menafsirkan makna bahasa yang digunakan pada sumber khususnya sumber tertulis. Misalnya, dokumen yang digunakan berbahasa Jawa Kuno atau berbahasa Belanda. Untuk dapat menginterpretasikan isi dokumen itu, seorang sejarawan harus mengetahui struktur bahasa Jawa Kuno dan struktur bahasa Belanda karena struktur bahasa pada masing-masing bahasa mempunyai karakter tersendiri.

5. Historiografi
Historiografi adalah penulisan sejarah. Historiografi merupakan tahap terakhir dari kegiatan penelitian untuk penulisan sejarah. Menulis kisah sejarah bukanlah sekadar menyusun dan merangkai fakta-fakta hasil penelitian, melainkan juga menyampaikan suatu pikiran melalui interpretasi sejarah berdasarkan fakta hasil penelitian. Untuk itu, menulis sejarah memerlukan kecakapan dan kemahiran. Historiografi merupakan rekaman tentang segala sesuatu yang dicatat sebagai bahan pelajaran tentang perilaku yang baik. Sesudah menentukan judul, mengumpulkan bahan-bahan atau sumber serta melakukan kritik dan seleksi, maka mulailah menuliskan kisah sejarah. Ada tiga bentuk penulisan sejarah berdasarkan ruang dan waktu.

a. Penulisan sejarah tradisional
Kebanyakan karya ini kuat dalam hal genealogi, tetapi tidak kuat dalam hal kronologi dan detail biografis. Tekanannya penggunaan sejarah sebagai bahan pengajaran agama. Adanya kingship (konsep mengenai raja), pertimbangan kosmologis, dan antropologis lebih diutamakan daripada keterangan dari sebab akibat.

b. Penulisan sejarah kolonial
Penulisan ini memiliki ciri nederlandosentris (eropasentris), tekanannya pada aspek politik dan ekonomi serta bersifat institusional.

c. Penu            lisan sejarah nasional
Penulisannya menggunakan metode ilmiah secara terampil dan bertujuan untuk kepentingan nasionalisme.

            Dalam penulisan sejarah, fakta-fakta sejarah harus diseleksi dan disusun dengan baik. Dalam menyeleksi fakta sejarah, masalah relevansi harus mendapat perhatian. Artinya dalam penyeleksian, fakta-fakta sejarah yang akan digunakan adalah fakta-fakta sejarah yang berkaitan dengan topic penelitian. Ada empat aspek yang menjadi ukuran bagi relevansi. Keempat aspek itu adalah aspek biografis, aspek geografis, aspek kronologis, dan aspek fungsional. Misalnya, untuk topic Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, aspek biografisnya menyangkut nama tokoh-tokoh atau kelompok orang, seperti Soekarno, Mohammad Hatta, BPUPKI, dan PPKI. Aspek geografisnya, antara lain menyangkut nama pulau dan kota dimana peristiwa itu terjadi, yakni pulau Jawa, Jakarta, Rengasdengklok. Aspek kronologisnya menyangkut periode-periode waktu pada proklamasi. Aspek fungsional, antara lain menyangkut jabatan-jabatan orang-oarang yang terlibat dalam masalah itu.
Setelah fakta-fakta sejarah diseleksi, fakta-fakta tersebut disusun. Penyusunan fakta sejarah yang paling masuk akal adalah penyusunan secara kronologis dalam periode-periode waktu. Selain itu, penyusunan fakta sejarah dapat dilakukan berdasarkan sudut pandang geografis tempat sejarah terjadi dan berdasarkan tokoh pelaku. Baik orang maupun kelompok orang. Untuk menghindari pengulangan kisah peristiwa-peristiwa yabg sama, cara penyusunan yang terakhir tetap harus diikuti dengan penyusunan kronologis.
Hasil penelitian sejarah dapat ditulis dalam suatu bentuk tulisan yang terdiri dari tiga bagian besar. Pertama, pengantar. Dalam pengantar, dikemukakan permasalahan, latar belakang, historiografi dan pendapat penulis tentang tulisan orang lain, pertanyaan-pertanyaan yang akan dijawab melalui penelitian, teori da konsep yang digunakan, dan sumber-sumber sejarah. Kedua, penelitian. Dalam bagian ini, disajikan hasil penelitian penulisan. Pertanggungjawaban penulis diperlihatkan dengan menampilkan catatan dan lampiran karena setiap data yang ditulis harus disertai dengan data yang mendukung. Ketiga, kesimpulan. Dalam kesimpulan dikemukakan generalisasi dari uraian yang disajikan pada bagian sebelumnya. Dalam generalisasi ini, akan tampak apakah penulis melanjutkan, menerima, member catatan, atau menolak generalisasi yang sudah ada.
            Dalam penulisan hasil penelitian sejarah, ada beberapa kesalahan yang harus dihindari. Kesalahan itu antara lain sebagai berikut.
1.      Kesalahan narasi. Kesalahan narasi artinya kesalahan yang terjadi dalam penyajian, yang meliputi kesalahan periodisasi, kesalahan didaktis, dan kesalahan pembahasan. Kesalahan periodisasi terjadi ketika sejarawan memandang periode sebagai waktu yang pasti. Misalnya, zaman kuno Indonesia tidak berakhir pada tahun 1499, walaupun dikatakan demikian karena jauh sebelumnya sudah berdiri kerajaan Islam. Kesalahan didaktis terjadi ketika sejarawan menggunakan historiografi untuk mengajarkan suatu nilai, padahal penulisan sejarah sendiri harus murni berbentuk ilmiah. Kesalahan pembahasan terjadi karena pembahasan disajikan dengan bahasa yang emosional dan nonsuquitur (kalimat yang dipakai bukan merupakan konsekuensi kalimat sebelumnya).
2.      Kesalahan argumen. Kesalahan argumen terjadi ketika sejarawan menguraikan gagasannya. Kesalahan ini dapat berupa kesalahan konseptual dan dapat pula berupa kesalahan subtansial. Kesalahan konseptual dapat terjadi jika sejarawan mengguankan istilah yang mempunyai dua atau lebih makan (ambigu). Akibatnya, pembaca dapat terkecoh. Misalnya, kata “maju” dapat berarti progress dan dapat pula berarti kelonggaran moral masyarakat. Kesalahan subtantif terjadi apabila sejarawan mengemukakan argument yang tida relavan atau tidak rasional. Misalnya, argument yang berbunyi “demi Tuhan, saya tidak melakukan tindakan korupsi”. Argument seprti ini membuat pendengar tidak berani lagi memprtanyakannya.
3.      Kesalahan generalisasi terbagi terbagi menjadi dua yaitu generalisasi yang tudak representatif dan generalisasi sebagai kepastian. generalisasi yang tudak representative, misalnya ketika terlihat ketika seorang sejarawan yang berbicara tentang Yogyakarta dimana sultannya menerima proklamasi. Sejarawan tersebut menyimpulkan bahwa semua penguasa tradisional mendukung proklamasi. Generalisasi sebagai kepastian melihat bahwa generalisasi sejarah adalah hokum universal yang berlaku disemua tempat dan waktu. Misalnya, terlihat ketika setelah mempelajari Peristiwa Tiga Daerah,seorang sejarawan menyimpulkan bahwa penguasa-penguasa colonial pasti bertindak sewenang-wenang terhadap orang kecil. Dalam hal ini, terdapat kesalahan karena kesimpulannya itu belum tentu terjadi di tempat lain. Sejarawan yang baik adalah sejarawan yang memandang dan meneliti peristiwa melalui sudut pandang yang objektif. Ia menempatkan kebenaran peristiwa sebagai suatu hal yang utama disbanding hal lainnya.



PENUTUP
1.1              KESIMPULAN
Langkah-langkah dalam penelitian sejarah
Ada lima tahapan dalam penelitian sejarah yaitu.
1)     Pemilihan topik.  Topik penelitian sejarah yang dipilih harus bernilai,orisinil, praktis, dan harus memiliki kesatuan, serta mempunyai kedekatan emosional dan kedekatan intelektual dengan peneliti sejarah.
2)     Heuristik. Heuristik berasal dari kata Yunani, heuriskein, artinya menemukan. Heuristik, maksudnya adalah tahap untuk mencari, menemukan, dan mengumpulkan sumber-sumber berbagai data agar dapat mengetahui segala bentuk peristiwa atau kejadian sejarah masa lampau yang relevan dengan topik/judul penelitian.
3)     Verifikasi. Verifikasi adalah penilaian terhadap sumber-sumber sejarah. Verifikasi dalam sejarah memiliki arti pemeriksaan terhadap kebenaran laporan tentang suatu peristiwa sejarah
4)      InterpretasiInterpretasi adalah menafsirkan fakta sejarah dan merangkai fakta tersebut menjadi satu kesatuan yang harmonis dan masuk akal
5)     Historiografi. Historiografi adalah penulisan sejarah. Historiografi merupakan tahap terakhir dari kegiatan penelitian untuk penulisan sejarah